25/11/08

MEMBONGKAR REALITAS GENERASI MUDA


Adalah sebuah keniscayaan jika sebuah agama dan Negara sangat menggantungkan kelangsungan masa depannya kepada para generasi muda. Sudah sangat jelas figur-figur generasi muda yang mau berjuang dan kritis akan nasib bangsa dan agamanya diperlukan untuk membangun kembali tatanan kehidupan kita. Sebab hanya dengan generasi muda yang konsisten berjuang menegakkan kebenaran dengan nilai-nilai moralitas dan akhlak mulia yang mampu mengkokohkan tiang agama dan kedaulatan Negara.Menyadari hal tersebut hendaknya para generasi muda harus segera terbangun dari tidur panjangnya,sudah saatnya mereka menjadi pemimpin baik bagi Islam dan Negara kita Indonesia. Menyelamatkan Negara yang Seakan tengah sekarat dari Polemik kemiskinan,korupsi,sampai pada permasalahan penyimpangan-penyimpangan ajaran agama yang mengarah pada kesesatan dan masalah klaim-klaim kebenaran yang mengarah kepada aksi militansi sadis seolah-olah membenarkan cara-cara kekerasan yang brutal dalam memerangi kedzaliman telah mewarnai kekisruhan bangsa ini. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintah yang keras kepala,bebal dan enggan melihat realitas rakyatnya. Bukan barang langka lagi jika pilihan kebijakan pemerintah itu jauh dari mensejahterakan rakyat akan tetapi berbalik memiskinkan dan menyengsarakan rakyat.


Realitas Generasi Muda



Sejarah telah membuktikan bahwa generasi muda merupakan aktor penting dalam melakukan setiap perubahan. Contohnya saja Negara kita dalam merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah,para generasi mudalah yang memiliki peran penting , diantara mereka ada pemuda-pemuda macam Soekarno,Semaoen,Moh.Natsir,dan pejuang-pejuang muda lainnya yang bahu-membahu berjuang merebut kemerdekaan.



Akan tetapi Potensi besar generasi muda untuk memelopori sebuah perubahan sosial seakan-akan hanya tinggal sebuah cita-cita yang tidak terwujud jika menyimak realitas generasi muda sekarang. Kini Generasi muda dalam kenyataannya telah terpecah menjadi 2 kutub yang penuh dengan kontradiksi,mereka terpecah menjadi kaum minoritas dan mayoritas.Agen-agen perubahan tersebut hanya golongan kaum minoritas yang mencoba melawan arus,sedangkan sang mayoritas adalah generasi muda pragmatis dan cenderung hedon konsumtif yang lebih mengorientasikan hidupnya dengan kesenangan-kesenangan dunia.Sang minoritas itulah yang berjuang dengan konsisten,ada yang berjuang dengan ideologi demokrat yang menginginkan demokrasi ditegakkan,ada pula yang berjuang dengan ideologi sosialis yang menginkan perubahan besar melalui jalan revolusi,dan ada pula yang berdakwah menyerukan umat untuk bersatu dan berjuang di jalan Allah SWT.Terlepas apapun metodologi perubahan sosial yang digunakan selama tidak timbul ekslusivitas dari pergerakan tersebut maka perjuangan itu adalah sesuatu yang harus dibumikan.



Kemudian ada apa dengan sang mayoritas?sang mayoritas mereka telah terbawa arus dan terjebak dalam kungkungan efek negative globalisasi dan kejahatan kapitalis. Ini adalah dampak dari Ketidakmampuan dalam menyaring berbagai informasi dan arus budaya sehingga menyebabkan sang mayoritas tersebut menjadi budak-budak life stlye dan menjadi korban kejahatan media. Otak mereka dicuci oleh berbagai tipuan-tipuan modernisme,sehingga bukan rahasia umum lagi jika sang mayoritas ini lebih memilih gizi fashion ketimbang gizi ilmu dari buku,mereparasi kuda besi ketimbang mereparasi otak,perilaku-perilaku hedonis konsumtif yang tak bernilai guna itulah yang menjangkiti kaum mayoritas.


Membangun Karakter Generasi Muda


Menyimak realitas generasi muda tadi tersirat satu persoalan besar yang harus segera dibenahi. Adalah “Karakter” yang menjadi permasalahan besar kaum generasi muda. Kondisi mayoritas generasi muda tadi mencerminkan Lemahnya karakter generasi muda yang terbentuk. Mereka tidak memiliki benteng idealisme sehingga yang terjadi mereka hanya mampu merespon sesuatu itu dengan mematuhinya,tanpa aksi menyaring atau pertimbangan yang sifatnya mengkritisi. Jelaslah jika mengkaitkan persoalan karakter generasi muda adalah persoalan bagaimana peran tunggal pendidikan,pendidikan yang dimaksud adalah bagaimana karakter itu terbentuk melalui metodologi pendidikan yang ada. Pendidikan yang dimaksud bukan pengertian konvensional yang menganggap pendidikan sebagai prosesi belajar bertahun-tahun melalui institusi pendididkan yang ada. Pendidikan diartikan sebagai prosesi memanusiakan manusia yang didalamnya tidak hanya ada pengembangan skill dan bakat melainkan juga meliputi pembangunan karakter dan moralitas dengan esensi pendidikan adalah sebuah “pembebasan”. Pembebasan yang dimaksud adalah pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri sehingga keterasingan atau alienasi-alienasi tidak terjadi.



Perubahan paradigma pendidikan diharapkan akan mampu membangun kembali generasi-generasi muda yang mempunyai kesadarn kritis,tidak hanya cakap teori tetapi mampu bertindak,tidak hanya mampu menafsirkan realitas sosial tetapi mampu melakukan perubahan sosial di masyarakat. Setidaknya metode pendidikan tadi sangat penting untuk bisa diterapkan dalam lingkungan keluarga,sebab tidak ada harapan jika kita mengharapkan pendidikan formal kita menerapkannya melalui institusi pendidikan yang ada,kurikulum yang ada justru menumpulkan pisau-pisau kritis generasi muda. Yang dihasilkan bukan generasi-generasi muda yang tercerahkan melainkan robot-robot yang gagap,kaku,penuh keraguan dan penakut. Wajarlah Negara kita ini masih saja terjajah oleh bangsa lain,terjajah oleh hegemoni ekonomi bangsa-bangsa adidaya sehingga kebijakan yang ada tidak lagi pro rakyat tetapi prokapitalis dan hal ini semakin diperparah oleh ketakutan melakukan perlawanan ketika pahlawan-pahlawan devisa teraniaya dinegeri orang.

CACAT LEMBAGA PERADILAN


Bangsa ini memang hebat! Segalanya bisa diperjualbelikan,mulai dari aset-aset Negara ,sektor pendidikan,bahkan kini praktek “jual-beli” berkembang dan menjangkiti lembaga peradilan, tampaknya penegakan supremasi hukum dimana kerangka hukum yang adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu masih saja menjadi hal yang langka.Sebuah ironi dan anomali ketika menyimak kiprah Lembaga peradilan di tanah air tercinta kita ini. Mengapa demikian? Alasan sahihnya adalah telah ambruknya moral para pejabat-pejabat lembaga peradilan tersebut sehingga praktek kucing-kucingan pejabat lembaga peradilan memperdagangkan hukum masih saja terjadi dan tak ayal lembaga peradilan itu dijadikan sarang para mafia-mafia peradilan.



Di ranah hukum Negara ini terjadi ketimpangan yang sangat tajam terhadap prosedur-prosedur penegakan hukum, bagi orang-orang yang memiliki tingkat kemapanan ekonomi dan kedudukan politik yang tinggi cenderung di manja oleh apparatus hukum dan bahkan mereka kebal hukum, vonis-vonis yang dijatuhkan kepadanya sangat lembek dan terkadang tidak sepadan dengan tindak pidana yang mereka lakukan. Bandingkan dengan mereka yang melarat, ketika tersangkut sebuah kasus tak tanggung-tanggung hukuman paling berat bisa dijatuhkan kepada mereka. Seorang maling ayam saja bisa dijebloskan selama bertahun-tahun dipenjara, tetapi para koruptor maupun penguasa kotor kasusnya bisa saja ditutup atau dihentikan dengan dalih tidak cukup bukti dan lain sebagainya,seperti kasus BLBI yang melibatkan cukong culas syamsul nursalim,dkk.



Kultur hukum yang benar-benar hancur seperti tadi nampaknya sudah mendarah daging dari waktu ke waktu. Terbesit sebuah pertanyaan,apa yang sebenarnya menjadi permasalahan utama lembaga peradilan yang masih saja akrab dengan kultur hukum yang kotor? bisa dikatakan ambruknya kinerja apparatus hukum ini lebih dipengaruhi lemahnya moral dan buruknya sistem hukum itu sendiri. Kultur hukum yang tercipta adalah hasil didikan sistem hukum yang dibangun atas hubungan kongkalikong dengan pihak penguasa. Sehingga yang ada Sistem hukum menjadi tidak aspiratif. Kemudian yang menjadi konsekuensinya adalah segala keputusan hukum selalu berpihak. Tentunya berpihak kepada yang berduit. Permasalahan yang terjadi dalam tubuh lembaga peradilan tidak hanya persoalan moral. Melainkan adanya persoalan mengenai ketidaktegasan sanksi terhadap mafia maupun makelar peradilan. Jika ditelisik dengan seksama, para oknum-oknum mafia peradilan yang sudah terbukti bersalah hanya dijatuhi sanksi yang ringan, malahan baru-baru ini salah satu jaksa agung muda yang terlibat dalam kasus suap Artalyta sama sekali tidak diberikan sanksi yang tegas, hanya sebuah pencopotan yang pada akhirnya akan menjadi pengalihan jabatan dari jaksa agung muda menjadi staf ahli seperti yang terjadi pada kasus-kasus lainnya. Tidak adanya efek jera dalam pemberian sanksi justru akan menjadikan para mafia peradilan masih saja akan beranak-pinak dalam tubuh lembaga peradilan.